Selasa, 18 Juni 2013

Cara Bersin yang Jitu


 

Bersin adalah sebuah nikmat dan kebaikan yang Allah berikan kepada seorang hamba, karena ia merupakan salah satu sebab yang menghilangkan penyakit, khususnya sakit kepala. Berapa banyak orang yang tertimpa penyakit kepala menginginkan bersin, namun ia tidak mampu melakukannya. Semuanya terpulang kepada Allah yang mengaturnya.

Sekalipun bersin adalah perkara biasa kita alami dan kita saksikan, tapi masih banyak diantara kaum muslimin yang tidak mengerti cara bersin yang jitu menurut sunnah. Banyak diantara kita yang jahil tentang sunnah ini dan menyalahgunakan nikmat bersin ini, seperti sebagian orang diantara kita yang bermain-main saat bersin, bukan malah mengikuti petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-!!

Para pembaca yang budiman, adanya petunjuk dan sunnah dalam bersin merupakan bukti kuat tentang kesempurnaan Islam, keteraturan dan keindahannya, subhaanallah. Kini kami mengajak pembaca menuai bunga keindahan di balik taman-taman sunnah, khususnya yang berkaitan dengan masalah bersin dalam beberapa noktah berikut ini:
  • Bersin adalah Perkara yang Dicintai oleh Allah -Ta’ala-
Bersin adalah hal yang dicintai oleh Allah, karena ia adalah kebaikan yang mendatangkan kemashlahatan dunia dan juga akhirat. Di dunia seseorang mendapatkan kesehatan, dan di akhirat mendapatkan pahala bila ia menerapkan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang berkaitan dengan bersin. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ وَحَمِدَ اللَّهَ كَانَ حَقًّا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُولَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَثَاءَبَ ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَان

“Sesungguhnya Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Bila seorang diantara kalian bersin dan memuji Allah (yakni, membaca “alhamdulillah”), maka wajib bagi setiap orang yang mendengarnya untuk berkata kepadanya, “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)”. Adapun menguap (yakni, saat ngantuk), maka sesungguhnya ia berasal dari setan. Bila seorang diantara kalian menguap, maka hendaknya ia menahannya sebisa mungkin, karena bila seorang diantara kalian menguap, maka setan akan tertawa karenanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6223)]

Al-Imam Abu Bakr Ibnul Arabiy Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh kami telah jelaskan bahwa setiap perbuatan buruk yang disandarkan kepada setan oleh syariat, maka karena ia (setan) adalah perantara (sebab)nya; dan setiap perbuatan baik yang disandarkan kepada malaikat, maka karena ia (malaikat) adalah perantara (sebab)nya…Menguap (muncul) karena penuhnya (kenyangnya) perut, dan akan lahir darinya kemalasan, sedang semua itu dengan sebab setan. Sementara bersin (muncul) dari kurang makan, dan akan lahir darinya semangat, sedang semua itu dengan sebab malaikat”. [Lihat Fathul Bari (/)]

Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Menguap disandarkan kepada setan, karena setan mengajak kepada syahwat. Sebab, menguap muncul dari beratnya badan, lemahnya, dan penuh (kenyang)nya. Yang dimaksudkan (dalam hadits ini) adalah memberikan peringatan tentang bahaya sebab tersebut yang lahir darinya (semua perkara buruk), yaitu sepuasnya makan dan memperbanyak makan”. [Lihat Tuhfah Al-Awadziy (/)]

Intinya, bersin membawa kebaikan, sedang menguap membawa keburukan sehingga setan pun menyenanginya. Adapun setan menertawai orang yang menguap, maka karena orang yang menguap akan menjauh dari kebaikan dan berubahnya pemandangan wajahnya, bahkan terkadang ada sebagian orang yang menguap mengeluarkan suaranya bagaikan anjing yang melolong atau sapi yang mengoak.
  • Kaifiat Mendoakan Orang yang Bersin
Diantara sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi orang yang bersin dan pendengarnya adalah saling mendoakan kebaikan dunia dan akhirat. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Bila seorang diantara kalian bersin,maka hendaklah berkata, “Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah)”, dan hendaknya saudara atau temannya berkata kepadanya, “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”. Bila ia (temannya) berkata, “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”, maka hendaknya ia (yang bersin) berkata lagi, “Yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum (Semoga Allah menunjuki kalian dan memperbaiki kondisi kalian)”. [HR. Al-Bukhoriy (6224)]

Inilah doa yang sepatutnya kita hafal dan baca saat menghadapi bersin, bukan mengucapkan kata-kata yang tidak baik atau lucu serta bukan pula berteriak bagaikan orang yang kerasukan.
  • Perkara yang Dilakukan saat Bersin
Segala sesuatu harus didasari dengan ilmu. Bila tidak, maka seseorang yang tidak berilmu kadang berbuat atau berucap bagaikan orang bodoh, anak kecil, bahkan seperti orang gila. Lihatlah sebagian orang -misalnya- saat ia bersin, ia melompat-lompat dan berteriak bagaikan orang gila yang kerasukan. Terkadang ia membiarkan udara dan bau mulutnya beterbangan bersama udara sehinga bisa saja ia menulari saudaranya yang ada di sekitarnya, bila ia berpenyakit. Inilah hikmahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajari kita cara mengatasi bersin dalam hadits ini:
Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيهِ وَخَفَضَ أَوْ غَضَّ بِهَا صَوْتَهُ

“Dulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bila bersin, maka beliau meletakkan tangannya atau bajunya pada mulutnya dan merendahkan suaranya dengannya”. [HR. Abu Dawud (no. 5029) dan At-Tirmidziy (no. 2745)]

Semua itu adalah tuntunan yang amat mulia, tuntunan yang menjaga kemashlahatan dan citra diri seorang muslim. Lantaran itu, sepatutnya seorang muslim mengikuti adab bersin yang terdapat dalam hadits ini.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkomentar tentang hadits ini, “Diantara adab-adab bersin, seseorang merendahkan suaranya saat bersin dan mengangkatnya saat membaca “alhamdulillah”, menutup wajahnya agar tidak muncul dari mulutnya atau hidungnya sesuatu yang menyakiti teman duduknya; ia juga tidak membengkokkan (memalingkan) lehernya ke kanan, dan ke kiri agar ia tidak ter-mudhoroti dengan hal itu”. [Lihat Fathul Bari (10/738), cet. Darus Salam, 1421 H]
Al-Imam Ibnul Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata, “Hikmahnya merendahkan suara saat bersin bahwa dalam mengangkat suara terdapat pengagetan anggota-anggota tubuh; hikmah dalam menutup wajah bahwa andaikan ada sesuatu yang keluar darinya (berupa penyakit, ludah, bau busuk dan lainnya), maka hal itu akan menyakiti teman duduknya. Andaikan ia membengkokkan (memalingkan) lehernya demi menjaga teman duduknya, maka ia pun tidak aman dari  (efek) berpaling tersebut. Sungguh kami telah menyaksikan orang yang terjadi pada dirinya hal itu”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (8/19) oleh Al-Imam Al-Mubarokfuriy, Dar Ihyaa’ At-Turots Al-Arobiy & Mu’assasah At-Tarikh Al-Arobiy, 1422 H]

Alangkah indahnya tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi orang yang bersin. Sebuah tuntunan yang mengajarkan suatu keindahan, kesehatan, etika, dan kemaslahatan sosial.

Al-Imam Fadhlullah bin Hasan At-Turibisytiy -rahimahullah- berkata, “Ini sebuah etika di depan para teman duduk. Sebab bersin, manusia benci mendengarkannya, dan dipandang oleh orang-orang berasal dari kotoran-kotoran otak”. [Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ Ash-Shogier (5/190)]
Jadi, hendaknya seorang muslim memiliki adab dan etika dalam setiap kondisinya, sebab itu merupakan konsekuensi keimanan dan keislamannya.
  • Kapan Men-tasymit (mendoakan) orang Bersin
Men-tasymit (تشميتٌ) orang bersin adalah mendoakan rahmat bagi orang yang bersin saat ia mengucapkan “alhamdulillah”. Ini juga merupakan sebuah keindahan Islam yang mengajarkan kepada pengikutnya agar saling mendoakan, bukan saling mencela dan menyakiti.
Pembaca yang budiman, ketika bersin, maka yang bersin dianjurkan mengucapkan doa dan pujian “alhamdulillah” dan bagi orang yang mendengarkan pujian itu wajib baginya men-tasymit (mengucapkan doa) bagi yang bersin, “Yarhamukallah” (Semoga Allah merahmatimu).
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Bila seorang diantara kalian bersin,maka hendaklah berkata, “Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah)”, dan hendaknya saudara atau temannya berkata kepadanya, “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”. Bila ia (temannya) berkata, “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”, maka hendaknya ia (yang bersin) berkata lagi, “Yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum (Semoga Allah menunjuki kalian dan memperbaiki kondisi kalian)”. [HR. Al-Bukhoriy (6224)]

Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَجُلَيْنِ عَطَسَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ فَقَالَ الَّذِي لَمْ يُشَمِّتْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَمَّتَّ هَذَا وَلَمْ تُشَمِّتْنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ حَمِدَ اللَّهَ وَإِنَّكَ لَمْ تَحْمَدْ اللَّهَ

“Ada dua orang pernah bersin di sisi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian beliau men-tasymit (mengucapkan “yarhamukallah”) kepada salah satu diantaranya, dan tidak men-tasymit yang lainnya”. Orang yang tidak di-tasymit oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berkata, “Wahai Rasulullah, anda men-tasymit ini, dan tidak men-tasymit aku”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya ia memuji Allah (dengan membaca “alhamdulillah”), sedang engkau tidak memuji Allah (dengan membaca “alhamdulillah”)”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 6221), Muslim (no. 2991) Abu Dawud (no. 5039), At-Tirmidziy (no. 2742) dan Ibnu Majah (no. 1223)]

Al-Imam Abu Isa At-Tirmidziy menarik sebuah kesimpulan dari hadits ini dalam Kitab Al-Adab, bab “Maa Jaa’a fi Iijaab At-Tasymit bi Hamdil Aatis” bahwa wajib men-tasymit (membaca “yarhamukallah”) saat mendengarkan ucapan “alhamdulillah” dari orang bersin. [Lihat Sunan At-Tirmidziy (8/15) yang dicetak bersama Tuhfah Al-Ahwadziy]
  • Berapa Kali Mendoakan Orang Bersin
Terkadang seseorang bersin lebih dari sekali. Nah, apakah ia di-tasymit setiap kali ia bersin? Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menjawab hal ini,

يُشَمَّتُ الْعَاطِسُ ثَلَاثًا فَمَا زَادَ فَهُوَ مَزْكُوم

“Orang yang bersin di-tasymit sebanyak tiga kali. Apa saja yang lebih dari itu, maka berarti ia (yang bersin) sedang flu”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 3714). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 4743)]

Hadits ini menerangkan bahwa disyariatkan men-tasymit orang bersin sebanyak tiga kali. Adapun selebihnya, maka tidak perlu men-tasymit, sebab bersin yang ia alami hanyalah timbul karena penyakit.
  • Ketika Orang Kafir Bersin
Alangkah indahnya Islam dengan adanya syariat saling mendoakan antara seorang muslim dengan saudaranya sampai kaum Yahudi pun mengharapkan hal itu terjadi bagi mereka. Perkara itu diceritakan oleh Sahabat yang mulia, Abu Musa Al-Asy’ariy -radhiyallahu anhu-,

كَانَتْ الْيَهُودُ تَعَاطَسُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجَاءَ أَنْ يَقُولَ لَهَا يَرْحَمُكُمْ اللَّهُ فَكَانَ يَقُولُ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Dahulu orang-orang Yahudi berusaha bersin di sisi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, karena mengharapkan agar beliau mengucapkan bagi mereka, “Yarhamukumullah (Semoga Allah merahmati kalian)”. Tapi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- malah berdoa, “Yahdiikumullahu wa Yuslihu baalakum (Semoga Allah menunjuki kalian dan memperbaiki keadaan kalian)”. [HR. Abu Dawud (no. 5038) dan At-Tirmidziy (no. 2895). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan At-Tirmidziy (no. 2895)]

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, beliau tidak berdoa bagi mereka, “Yarhamukumullah (Semoga Allah merahmati kalian), karena rahmat hanya khusus bagi orang-orang beriman. Bahkan beliau hanya mendoakan mereka dengan sesuatu yang memperbaiki keadaan mereka berupa hidayah dan taufiq menuju iman”. [Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (11/77)]

Para pembaca budiman, inilah sebagian tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang berkaitan dengan perkara bersin, semoga kita semua sudah dapat mengetahui cara jitu dalam bersin.


Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.  Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).

Bulan Sya’ban, antara Sunnah dan Bid’ah


3
Oleh: Abu Umar Wira Bachrun Al Bankawy
Pendahuluan
Sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan Rajab dan masuk ke bulan Sya’ban. Tulisan ringkas ini akan membahas beberapa perkara penting yang berkaitan dengan bulan ini, mulai dari sebab penamaan bulan Sya’ban sampai pembahasan sunnah dan bid’ah seputar bulan ini.

Alasan kenapa Bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau (4/1655),
“As Sakhawi rahimahullah mengatakan bahwa Sya’ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang -pen) berasal dari  berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang. Mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan.”

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Fathul Bari (5/743),
“Bulan Sya’ban disebut sya’ban karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk mencari air). “[1]

Sya’ban adalah Gerbang Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Untuk mencapai ampunan yang Allah janjikan maka diperlukan kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan untuk memasuki Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau  berkata,

لَمْ يكن النبي – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya, tidak diampuni dosanya wal ‘iyadzu billah. [2]

Sunnah-sunnah di Bulan Sya’ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya’ban yang hendaknya diperhatikan:

1. Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban
Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha yang telah berlalu, beliau berkata,

لَمْ يكن النبي – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Maksud ucapan beliau radhiyallahu ‘anha “… berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya” adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya’ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. [3]

Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadhan seperti shalat rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan puasa di bulan Sya’ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam puasa Ramadhan – pen.) [4]

2. Menghitung Hari Bulan Sya’ban
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. [5]

3. Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang untuk mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. [6]

4. Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan
Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم
 -
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rasulullah –pen) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih.” Dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abi Dawud no. 2022)

Yaumus syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya’ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]

Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا

“Ketika masih tersisa separuh dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” (HR. At Tirmidzi, beliau berkata “Hasan shahih.”)

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan [8],
“Meski At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah. Al Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini syadz[9]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di mana Nabi bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya.”
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadhan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.
Kalau  pun haditsnya shahih, maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki rutinitas puasa, maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di paruh kedua bulan Sya’ban.

Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga:

1. Setelah pertengahan Sya’ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas puasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan puasa tersebut shahih. Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.

2. Satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa sebelumnya.

3. Pada yaumus syak, hari yang diragukan. Maka ini haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarangnya.

Bid’ah-bid’ah pada Bulan Sya’ban

Bid’ah secara bahasa artinya perkara yang baru dibuat. Adapun secara syar’i, bid’ah artinya jalan atau metodologi baru dalam yang agama yang menyerupai syariat yang dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta’ala. [10]

Bid’ah hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Beliau juga bersabda,

وَشّرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ

“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama). Semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ No. 608)

Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal itu dianggap sebuah kebaikan.”

Dan di antara bid’ah yang tersebar di kalangan manusia pada bulan Sya’ban adalah:

1. Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,
“Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran. Memang ada hadits-hadits tentang keutamaan malam tersebut, akan tetapi hadits-hadits tersebut adalah hadits yang lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah hadits yang palsu.
Dalam hal ini, banyak di antara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan keutamaan shalat pada hari Nisfu Sya’ban.
Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma’arif mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.”[11]

2. Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ

“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 886)
Beliau juga bersabda,

فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al Imam Ash Shan’ani mengatakan,
“Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang diinginkan secara syar’i.” [12]

Akan tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya’ban, atau menjelang Ramadhan adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari ‘Asyura  (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya’ban dan sebagian lagi di waktu yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi kuburan tersebut.” [13]

Perkara ini dilarang karena tidak ada tuntunannya di dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Selain itu beliau juga melarang untuk melakukan safar untuk berziarah kecuali ke tiga masjid. Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

“Janganlah kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pelarangan ini semakin keras apabila ziarah tersebut diiringi dengan tawasul atau berdoa meminta kepada kuburan yang diziarahi. Allah berfirman,

وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا

“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al Jin: 18)

Apabila seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala. Allah berfirman,

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa: 48)

3. Shalat Alfiyah
Di dalam kitab beliau Al Bida’ Al Hauliyyah, ketika menyebutkan tentang bid’ahnya shalat Alfiyah di Bulan Sya’ban, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri mengatakan,
“Shalat bid’ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya dibacakan surat Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka’atnya seratus, dan pada setiap rakaat dibacakan surat Al Ikhlas sepuluh kali.
Tata cara shalat ini dan pahala amalannya telah diriwayatkan dari banyak jalan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab beliau Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Beliau berkata,
“Kami tidaklah ragu lagi kalau hadits ini benar-benar palsu. Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya adalah para majahil (tidak diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di dalam terdapat rawi yang sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap sama sekali.” [14]

4. Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan Sya’ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
Di sebagian tempat, acara mandi-mandi ini dilakukan dengan mengguyurkan air dari dalam bejana yang telah dicampur dengan berbagai kembang dan jeruk limau.

Acara seperti ini memiliki kemungkaran dari berbagai sisi:

a. Merupakan bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam, dan telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
b. Di dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-mandi tersebut akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang keliru karena sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi seperti itu. Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah serta memperbanyak amalan shalih.
Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At Tahrim: 8)
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (At Taghabun: 9)

c. Di dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya. [15]

5. Sedekah Ruwah
Di beberapa tempat di Indonesia , sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan) yang tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian membacakan tahlil dan surat Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada arwah orang tua dan karib kerabat yang telah meninggal dunia.  Acara ini juga termasuk bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemungkaran di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan kurafat, keyakinan yang batil bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul musta’an.

Peringatan:
Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi sunnah.[16]
Untuk mendukung kegiatan saling memaafkan sebelum Ramadhan ini, sebagian orang membawakan hadits yang bunyinya,
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri; Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Dan barang siapa yang menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita , maka diharamkan kulitnya tersentuh api neraka.”
Hadits ini wallahu a’lam datangnya darimana, siapa sahabat perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan sanadnya.
Apabila hadits ini adalah buatan orang, kemudian disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ditakutkan dia akan terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas kami, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Adapun hadits yang mirip dengan hadits tersebut, lafazhnya adalah sebagai berikut,

أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال: “آمين، آمين، آمين” قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ: ” قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين. ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين “.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, “Amin, amin, amin”.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jibril berkata kepadaku, ‘Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’”
Kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’ Maka aku katakan, ‘Amin’.
Kemudian Jibril berkata,
‘Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!’  Maka kukatakan, ‘Amin.’” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).

Penutup
Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan Sya’ban. Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa memberikan manfaat bagi kaum muslimin.  Wallahu ta’ala a’lam, semoga shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Ditulis pada hari Rabu tanggal 23 Rajab 1433 H – bertepatan dengan 13 Juni 2012 di Darul hadits Syihir, Hadramaut. Semoga Allah senantiasa menjaga dan mengokohkannya)

Catatan kaki:
[1] Sya’ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi’ Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya’ban (Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Asy Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hal. 27
[6] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/393)
[7] Idem (3/394).
[8] Idem (3/394-395).
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I’tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida’, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal. 20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan’ani (2/114).
[13] Iqtidha’ Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 257.
[14] Al Bida’ Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri, hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al Mar’ie bin Buraik, hal 3.
[16] Demikian penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’ie ketika ditanya hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Beliau menjawab, “Apabila seseorang memang memiliki kesalahan maka hendaknya dia segera meminta maaf. Namun mengkhususkannya pada waktu sebelum masuk Ramadhan maka ini khilafus sunnah, menyelisihi sunnah.” Wallahu ‘alam


Peran Wanita Dalam Membina Keluarga (Bag. 1)

Oleh: Syaikh Sholih Bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullaah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Maha Penyayang.
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Siapa yang Allah beri hidayah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tiada yang dapat memberinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang haq melainkan Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga Allah mencurahkan sholawat dan salam kepadanya, dan kepada keluarganya, serta para sahabatnya.
Wa ba’du,

Pembicaraan kita berkaitan dengan wanita muslimah. Dan berbicara tentang wanita muslimah di waktu sekarang ini aku pandang cukup penting. Karena wanita di masyarakat kita sedang diserang secara membabi buta oleh musuh-musuh agama ini, di mana digulirkan apa yang disebut dengan “qodhiyyatu l mar`ah” atau “qodhooyaa l mar`ah” (problematika wanita -pent). Dan yang mereka maksud dengan istilah ini adalah mengeluarkan wanita dari kondisi/keadaan yang diinginkan oleh Allah terhadapnya.

Kita tidak pernah mengenal bahwa wanita memiliki problematika selain problematika umat wanita muslimah itu sendiri. Sesungguhnya kebodohan umat terhadap agama Islam ini dan kelemahan mereka dalam berpegang kepadanya adalah problematika umat dan wanita muslimah. Dan itulah yang akan kami upayakan untuk kami jelaskan dalam kuliah umum yang berjudul “peran wanita dalam membina keluarga” ini. Namun kami memiliki beberapa komentar atas judul ini.

Pertama, seputar pengertian “tarbiyah”. Di mana yang kami maksud dengannya adalah makna luas dari pengertian “membina” dan segala sesuatu yang menjadi konsekwensinya seperti mengawasi keluarga dan menjaganya. Sehingga jangan sampai ada yang mengira bahwa tarbiyah itu hanya sekedar memperbaiki dan meluruskan akhlak. Ini adalah salah satu cakupan tarbiyah. Sedang tarbiyah untuk keluarga lebih luas lagi sisinya dari hal ini.

Kedua, boleh jadi dari judul ini akan dipahami bahwa wanita memiliki peran dalam membina keluarga akan tetapi peran itu adalah pekerjaan yang sekunder baginya. Padahal yang sebenarnya adalah bahwa pekerjaan wanita dalam membina keluarga itu adalah pekerjaannya yang paling utama sedang yang selainnya adalah pengecualian. Kalau judul kuliah umum ini adalah “peran wanita adalah membina keluarga”, maka itu lebih baik.

Tempat Wanita
Permasalahan ini membutuhkan penjelasan dan penerangan, maka kami katakan: sesungguhnya tempat yang wajar bagi wanita adalah di rumah dan di sanalah tempatnya bekerja. Ini adalah prinsip dasarnya. Dan inilah yang disokong oleh dalil-dalil syar’iy serta inilah logika fitrah yang dengannya wanita diciptakan.

Berkaitan dengan dalil-dalil syar’iy atas hal ini, maka nash-nash dan realitas-realitas konkret yang mendukungnya cukup banyak. Di antaranya:

1. Allah berfirman dengan mengarahkan perkataan kepada para ummahaatul mu`miniin:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan menetaplah di rumah-rumah kalian” (Al Ahzab: 33).

Berkata Sayyid Quthb: “Dalam ayat ini terdapat isyarat halus bahwa hendaknya rumah itu menjadi tempat asal dalam kehidupan mereka. Dan rumah itu adalah sebagai “maqorrun” (tempat kediaman -pent). Sedang selain rumah adalah pengecualian sementara yang mereka tidak boleh menetap dan berdiam di situ kecuali untuk keperluan dan itupun hanya sekedarnya saja. (fii zhilaali l qur`aan 59, 5/28 cetakan kesepuluh, Asy Syuruq).

2.

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar’ (Ath Tholaaq: 1)

Ayat ini sekalipun berkaitan dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah, namun para ulama mengatakan bahwa hukumnya tidak terkhususkan untuknya akan tetapi juga mencakup wanita yang lain. Penisbahan dalam “rumah kalian” atau “rumah mereka” (dalam dua ayat di atas -pent) padahal rumah itu biasanya adalah milik suami, itu adalah penisbahan yang menunjukkan penempatan, bukan pemilikan. Seolah, pada prinsipnya, rumah itu adalah tempat tinggal bagi wanita.

3. Dalam kisah-kisah para nabi ada pelajaran dan ibroh. Seperti kisah Musa dengan dua orang wanita:

وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (Q.S.28:23)
Hingga firman Allah:

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (Q.S.28:27)

Mari kita perhatikan pelajaran-pelajaran dalam ayat ini.
Musa mendapatkan para penggembala berada di sumber air dan di belakang mereka ada dua orang wanita yang menghalang-halangi kambing mereka agar tidak bercampur baur dengan kambing orang banyak itu. Musa bertanya kepada dua orang wanita itu, ada apa dengan kalian? Mengapa kalian tidak memberi minum kambing kalian bersama orang-orang itu?
Datanglah jawabannya: kami tidak dapat memberi minum sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka. Dua orang wanita ini memiliki ketakwaan dan sikap waro’ yang mencegah mereka untuk bercampur baur dengan para lelaki. Kemudian seolah ada pertanyaan lain muncul, apa yang menyebabkan kalian keluar? Lalu muncullah jawabannya secara langsung: dan ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut umurnya. Ada kebutuhan dan keperluan mendesak yang mengharuskan mereka untuk keluar. Dan walaupun mereka terpaksa untuk keluar, mereka tetap menjaga akhlak dan adab dengan tidak berbaur bersama para lelaki.

Kemudian ada pelajaran lain di mana salah seorang dari dua wanita itu berpikir bahwa sudah saatnya segala sesuatunya kembali pada keadaan semula (yaitu mereka tidak lagi keluar rumah untuk memberi minum ternak -pent).

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Syu’aib pun menerima solusi tersebut dan ia mengajukan tawaran kepada Musa:

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun..” (Q.S.28:27)

Musa pun menerima tawaran tersebut dan segala sesuatunya pun kembali wajar. Musa bekerja menggembalakan ternak, dan wanita itu pun menjadi seorang istri yang bekerja di rumah. Demikianlah Al Quran berkisah kepada kita dan sungguh dalam kisah-kisah mereka itu ada pelajaran berharga.

4. Sholat di masjid itu adalah amalan yang masyru’ bagi kaum lelaki dan merupakan salah satu amalan yang paling utama.Terlebih lagi sholat di masjid Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam, dan bersama beliau. Meskipun demikian, Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam memerintahkan para wanita untuk sholat di rumah. 

Dari istri Abi Humaid As Saa’idiy, bahwasanya ia datang kepada Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku suka sholat bersamamu”. Lalu beliau berkata: “Aku tahu bahwa engkau menyukai sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di sudut ruangan itu lebih baik daripada sholatmu di kamar. Dan sholatmu di kamar itu lebih baik daripada sholatmu di dalam rumah. Dan sholatmu di dalam rumah itu lebih baik dari sholatmu di masjid kaummu. Dan sholatmu di masjid kaummu itu lebih baik daripada sholatmu di masjidku”. Lalu istri Abi Humaid ini pun menyuruh dibuatkan untuknya sebuah tempat sholat di tempat paling dalam dan gelap di rumahnya. Dan ia pun sholat di situ sampai akhir hayatnya. (Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/371 dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 3/95. Hadis ini hasan. Lihat “haasyiyatu l a’zhomi ‘alaa shohiih ibni khuzaimah).

Isyarat dalam hadis ini cukup jelas bahwa asalnya adalah menetapnya seorang wanita di dalam rumah. Sampai-sampai Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam lebih mengutamakan sholat di rumah untuk seorang wanita, daripada sholat di masjid beliau shollallahu’alayhiwasallam sekalipun beliau mengizinkan seorang wanita untuk pergi ke masjid.

5. Realitas para wanita muslimah pada abad-abad permulaan -yang merupakan contoh untuk diteladani- mendukung hal ini. Di mana kita mendapatkan bahwa keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah merupakan peristiwa yang hampir bisa dihitung, dan memiliki sebab-sebab yang mengharuskan untuk demikian. Bahkan yang demikian itulah yang dipahami oleh para Sahabat. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud diminta oleh istrinya untuk memberinya sebuah jilbab. Ibnu Mas’ud berkata: “Aku khawatir engkau akan meninggalkan jilbab yang telah Allah kenakan untukmu”. Istrinya berkata: “Jilbab apakah itu?”. Ibnu Mas’ud berkata: “Rumahmu”.

6. Yang diajarkan oleh syari’at ini itulah yang sesuai dengan fitrah. “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.S.67: 14). Sesungguhnya menetapnya seorang wanita di dalam rumah merupakan logika fitrah yang sesuai dengan tugas dan karakternya dan yang menjaganya dari keterceraiberaian dan kekontradiktifan kepribadiannya. Percobaan-percobaan ilmiah psikologis telah memberi dukungan terhadap hal ini. Sebagaimana sebagian peneliti yang cukup obyektif di Barat telah menyampaikan seruan untuk meminimalisir akibat negatif mengembankan wanita suatu pekerjaan yang bertentangan dengan fitrah dan karakternya. Akan tetapi para pemuja syahwat sudah sedemikian tuli terhadap setiap orang yang menyeru hal itu. Bahkan mereka menuduhnya sebagai orang yang mengajak para wanita untuk kembali ke masa kemunduran dan perbudakan, demikianlah mereka membuat klaim! Dan akan ada tambahan penjelasan tentang hal ini di sela-sela bahasan.

Meyikapi Masalah Seputar Keluarnya Wanita
Perlu dipahami bahwa keluarnya seorang wanita tidaklah terlarang secara mutlak. Telah diriwayatkan beberapa keterangan yang menunjukkan bolehnya wanita keluar dan bekerja di luar rumah, akan tetapi keadaan ini bukanlah merupakan hukum asal, melainkan sebagai pengecualian dan kebutuhan yang mendesak.

Salah satu riwayat tentang hal ini adalah diizinkannya seorang wanita oleh Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk sholat di masjid sekalipun beliau lebih mengutamakan sholatnya wanita itu di rumah.

Demikian juga riwayat tentang keikutsertaan sebagian wanita di beberapa pertempuran untuk memberi minum dan mengobati korban yang terluka.
Para penyeru pembebasan wanita, atau lebih tepatnya para penyeru penghancuran wanita dari kalangan pengekor hawa nafsu, telah berpegang dengan riwayat ini. Sebagaimana sebagian orang baik yang telah menjadi sedemikiran rendah diri di hadapan tekanan peradaban asing, juga telah menjadikan riwayat ini sebagai dalil untuk membela Islam, dalam dugaan mereka.
Untuk menjawab hal ini, kami katakan: sesungguhnya keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah bukan sesuatu yang terlarang secara mutlak. Bisa jadi ada keperluan yang mendesaknya untuk keluar seperti keluarnya dua putri Syu’aib. Bisa juga itu menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk umat ini seperti seorang wanita yang mengajarkan saudari-saudarinya sesama wanita atau memberikan pengobatan untuk mereka. Untuk hal-hal seperti inilah dalil-dalil keluarnya seorang wanita itu dipahami. Dan itu merupakan keadaan pengecualian, bukan kondisi asal. 
Oleh karena itu kita mendapatkan Imam Ibnu Hajar mengatakan: bisa jadi keluarnya wanita bersama suatu pasukan itu telah dinasakh. Di mana ia menjelaskan dalam “Al Ishoobah” riwayat hidup Ummu Kabsyah Al Qodho’iyyah dan berkata: hadisnya dikeluarkan oleh Abu Bakr bin Abi Syaybah dan Ath Thobrooniy dan yang lain dari jalan Al Aswad bin Qoys dari Sa’id bin ‘Amr Al Qurosyiy bahwasanya Ummu Kabsyah seorang wanita dari Qodho’ah berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk keluar bersama pasukan begini dan begini”. Beliau berkata: “Tidak”. Ummu Kabsyah berkata: “Wahai Rasulullah aku bukannya ingin berperang. Tapi aku ingin mengobati orang yang terluka dan orang sakit, dan aku akan membagi-bagikan minuman”. Beliau berkata: “Kalau saja itu tidak menjadi suatu sunnah dan akan dikatakan orang: si fulanah pernah keluar (dalam suatu pasukan) tentu aku akan mengizinkanmu. Akan tetapi, duduklah (tidak usah ikut -pent)”. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan di bagian akhirnya, “Duduklah, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad berperang dengan seorang wanita”. Lalu Ibnu Hajar berkata: Hadis ini dan hadis yang terdahulu dalam riwayat hidup Ummu Sinaan Al Aslamiy bisa dipadukan dengan mengatakan bahwa hadis ini menasakh hadis yang sebelumnya. Karena hadis sebelumnya pada waktu perang Khaibar, sedang hadis ini setelah Fathu Makkah. (Al Ishoobah 4/463)

Bagaimanapun, dalil-dalil tersebut tsabit untuk perkara keluarnya sebagian wanita dan ikutsertanya mereka dalam mengobati orang yang terluka dan untuk membagikan minuman, akan tetapi itu adalah kondisi-kondisi terbatas yang ditakar sesuai dengan kadarnya dan tidak sampai mengalahkan kondisi yang asal. Dan cukup penting membedakan secara jelas antara kondisi bekerjanya seorang wanita di luar rumah sebagai suatu hukum asal dan antara memandangnya sebagai suatu pengecualian.
Kalau ia merupakan pengecualian untuk keadaan-keadaan tertentu, maka kita tidak akan kehabisan solusi untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dengan keluarnya seorang wanita. Namun di sini bukan tempat untuk memaparkan solusi-solusi itu. Adapun kalau keluarnya seorang wanita itu dijadikan sebagai perkara asal sebagaimana yang dipandang oleh sebagian orang-orang yang terbaratkan, di mana mereka melihat bahwa wanita akan tetap tidak bermanfaat apa-apa kalau ia bekerja di rumah. Dan ini merupakan kelumpuhan pada setengah bagian masyarakat. Aku katakan: kalau kita berjalan dengan arah seperti ini, maka dampak-dampak negatif dari keluarnya para wanita, dan segala konsekwensinya akan muncul sebagaimana yang terjadi di masyarakat Barat.

Akan muncul mafsadat-mafsadat ikhtilat, dan mafsadat-mafsadat kosongnya rumah dari peran seorang ibu, walaupun kita menggunakan berbagai macam prosedur dan walaupun kita bersungguh-sungguh untuk itu, serta walaupun sebagian orang berupaya untuk menutup-nutupinya dengan slogan yang menipu: “keluar dalam koridor ajaran syari’at dan sesuai dengan budaya kita”. Kemudian kita perlu memahami bahwa kalau sudah diterima oleh kita bahwa yang menjadi asal adalah bahwa seorang wanita bekerja di rumah dan bahwa bekerjanya ia di luar rumah merupakan suatu pengecualian serta bahwa inilah yang ditentukan berdasarkan dalil-dalil syar’iy, maka setelah itu kita tidak lagi memiliki pilihan lain antara beriltizam dengan hal ini atau tidak beriltizam dengannya, kalau kita memang benar-benar muslim.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S.33:36)
Ayat ini walaupun turun untuk suatu perkara tertentu, namun kandungannya bersifat umum. Kemudian ia turun setelah ayat-ayat yang memerintahkan para istri Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk menetap di rumah mereka.

Allah telah menerangkan bahwa perbuatan meninggalkan, dan berpaling dari, syari’at-Nya merupakan sebab pasti -tidak diragukan lagi- atas kesengsaraan seseorang seperti keadaan sebagian besar umat manusia di atas bumi sekarang ini.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S.20:124)

Dan sesungguhnya keadaan umat yang memiliki manhaj lurus namun mereka meninggalkan manhaj tersebut dan mencari manhaj lain dalam sampah pemikiran manusia, seperti yang diungkapan oleh penyair:
Laksana unta yang mati kehausan di padang sahara
Sedang air di atas punggungnya ia bawa-bawa

(Bersambung insya Allah)

Diterjemahkan oleh tim redaksi akhwat.web.id dari tautan: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=738949


Senin, 10 Juni 2013

Rahasia Sehat Makan dengan Jari-jari Tangan


makandgjari.jpg

Diantara sunnah Rasulullah SAW adalah makan dengan menggunakan tangan kanannya. Beliau memakan makanannya dengan tiga jari, lalu menjilati ketiga jari tersebut sebelum membersihkannya. Dan bila ada satu suap makanan terjatuh dari tangan Rasul, beliau tidak akan meninggalkan makanan tersebut, melainkan mengambilnya dari tanah, lalu membersihkannya dan memakannya.

Hal tersebut diatas sesuai tertuang dalam sabda Rasulullah "jika satu suap makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotorannya, jangan biarkan untuk setan. Jangan membersihkan tangannya dengan sapu tangan, namun jilatlah jari-jarinya karena dia tidak mengetahui bagian mana dari makanannya yang mengandung keberkahan. (HR Muslim).

Rasulullah SAW selalu makan dengan ketiga jarinya. Setelah selesai makan, Rasulullah SAW pun akan menjilati ketiga jarinya itu. (HR Muslim)

Ketika pertama kali membayangkan cara makan dengan menggunakan tiga jari itu, mungkin kita akan merasa bahwa hal itu tidak mungkin kita lakukan apalagi jika harus menjilatnya.

Sebagian orang yang bergaya hidup mewah tidak suka menjilat jari-jarinya karena menurutnya, dia merasa jijik dengan perbuatan tersebut. Padahal jika kita telah mencobanya sekali saja, lalu kita benar-benar melakukannya dengan seksama, kita akan terkagum-kagum dan merasa bingung dengan apa yang kita lakukan.

Rasulullah selalu makan menggunakan tiga jari, karena saat itu tidak menemukan hal lain selain jari yang dapat dipastikan bersih sehingga dapat dipergunakan untuk makan. Kemudian Rasulullah menjilat jari-jari karena menurutnya kita tidak tahu di bagian mana dari makanan kita yang mengandung berkah. Dengan demikian makan dengan tiga jari dan menjilatnya merupakan upaya mengikuti sunnah Rasul dan bernilai ibadah.

Tetapi Apakah tidak boleh dengan empat atau lima jari? Sebenarnya tidak harus menggunakan tiga jari saja. Makan menggunakan lebih dari tiga jari diperbolehkan jika makanan itu mengandung kuah atau sejenisnya yang tidak mungkin dimakan dengan tiga jari.

Lalu apa hikmah dari makan menggunakan jari tangan? Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddinnya, menjelaskan, “Aktifitas makan itu dapat dilihat dari 4 sisi, yaitu makan dengan menggunakan satu jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat marah, dengan dua jari akan menghindarkan dari sifat sombong, makan dengan tiga jari akan menghindarkan dari sifat lupa dan makan dengan menggunakan empat atau lima jari dapat menghindarkan dari sifat rakus.

kemudian mengapa Rasulullah menggunakan tiga jari? sesungguhnya makan menggunakan tiga jari akan membuat setiap orang dapat mengukur porsi makanan yang cocok bagi dirinya.

Ia juga dapat menjadikan setiap suap yang masuk ke dalam mulut dapat dikunyah dan bercampur dengan air liur dengan baik sehingga kita tidak akan mengalami gangguan pencernaan.

Sumber : Inilah Makanan Rasulullah SAW. Prof.Dr.’Abdul Busith Muhammad as- sayyid.

Fakta berikutnya,makan dengan menggunakan tangan ternyata bisa lebih sehat daripada makan dengan sendok. Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan pada tangan kita terdapat sebuah enzim, yakni enzim RNase yang dapat menurunkan aktivitas bakteri-bakteri patogen yang ada pada tangan kita ketika kita makan. Enzim RNase adalah enzim yang dapat mendepolarisasi RNA (asam nukleat). Sehingga ketika kita menyuap makanan dengan tangan, bakteri yang terdapat pada makanan dapat terikat oleh enzim Rnase yang dihasilkan di tangan kita. Tapi tentunya dengan catatan, tangan kita sudah dicuci terlebih dahulu dengan sabun hingga bersih dan higienis.

Enzim RNase terutama dihasilkan oleh tiga jari tangan kita (ibu jari, telunjuk, dan jari tengah). Dengan makan menggunakan tiga jari tersebut – seperti yang diajarkan oleh Rasulullah – bakteri yang terdapat pada makanan yang masuk ke dalam sistem pencernaan akan diikat oleh enzim tersebut. RNA, terutama mRNA merupakan materi genetik yang mengkode suatu protein. Enzim RNase mendepolarisasi RNA mikroorganisme sehingga mikroorganisme dapat terhambat aktivitasnya. Sehingga bukan saja bakteri, tetapi juga virus, terutama virus RNA di mana RNA merupakan pertahanan pertamanya, dapat dihalau untuk berbuat hal-hal yang bisa merugikan tubuh kita.

Bagaimana dengan sendok? Setelah banyak beraktivitas menggunakan tangan, mungkin kita berpikir bahwa sendok merupakan pilihan yang baik untuk menyuap makanan. Akan tetapi, sendok yang digunakan harus benar-benar dalam keadaan higienis. Perlu diingat bahwa udara dengan kondisi kelembaban tertentu dapat menjadi kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri dan uap air dapat menjadi medium perpindahan bakteri dari udara ke suatu benda (sendok misalnya). Bakteri-bakteri tersebut bisa datang dari mana saja, bahkan bisa jadi dari tubuh orang-orang yang ada di ruangan tersebut sebelum kita. Dan tidak menutup kemungkinan sendok yang kita gunakan untuk makan sudah “ditempati” oleh bakteri- bakteri yang ada di ruangan tersebut. Apalagi jika sendok tersebut tidak dicuci dengan bersih, seperti yang biasa tersajikan di rumah-rumah makan, bukannya higienis bisa jadi malah “memupuk” bakteri yang tinggal di sendok itu. Dan pada sendok tentunya tidak terdpat enzim Rnase seperti pada tangan.

Nah, ternyata Allah telah memberikan alat makan yang paling sempurna bukan, yakni tangan kita sendiri. Dan Rasulullah telah menjadi contoh serta teladan bagi kita umat muslim untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh kita. Menggunakan sendok untuk makan sah-sah saja asalkan diperhatikan juga kebersihannya. Sekarang keputusan berada di tangan anda, memilih makan dengan sendok atau dengan tangan. Selamat makaaan!


Refrensi:
http://www.medicalera.com/
http:// kesehatan.kompasiana.com/
http://www.beritasatu.com/

source